Dian duduk lesu dengan pandangan kosong di sebuah kursi panjang pinggir pantai, berteman senja dan sepoi angin. Matanya sayu, otaknya berputar dalam kegalauan karena terpikir apa yang baru menimpa hidupnya. Jiwanya yang labil kini diterpa masalah.
Dian, anak remaja muslimah yang masih duduk di bangku kelas 3 SMP. Anak tunggal dari Pak Abdulloh dan Ibu Fatimah. Kini dia adalah seorang anak yatim piatu, karena baru saja ayah tercinta, seorang berharga dan inspirasinya dipanggil Yang Maha Kuasa. Sedang dia kehilangan kasih sayang ibu pada usia 9 tahun.
Itulah masalah yang menerpa jiwa labil Dian yang membuatnya duduk termangu di pantai senja ini. Lama Dian duduk di kursi panjang berteman sepoi angin tanpa kata, namun hatinya tak berhenti berkata.
Tak terasa air mata Dian menetes, Dian mengangkat kedua tangannya* dan lirih berdoa:
Yaa ALLAH, yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang Engkaulah yang menguasai setiap jiwa, dan kepadaMu-lah setiap jiwa kembali. Allahumma sholli 'ala Muhammad wa 'ala aali Muhammad. Maafkanlah hambaMu yaa ALLAH... yang berlama-lama dalam kesedihan ini. Aku ikhlas menerima tulisan takdirMu, semua atas kehendakMu dan aku hanya seorang hamba yang harus patuh kepadaMu. Tak seharusnya aku berlarut-larut dalam kesedihan ini, masih terlalu awal untukku menyerah. Jalan perjuanganku masih panjang, aku ingin mengasah kemampuanku untuk memanfaatkan ladang dakwah. Yaa ALLAH, kuatkan aku untuk menjalani liku hidup, ikhlas dan sabar di dalamnya. Aamiin...
Terngiang kata terakhir ayah sebelum beliau jatuh sakit, “Jangan membesarkan nama, yang terpenting adalah ilmu tersebar” yang seakan menjadi wasiat dari ayahnya.
Langit mulai gelap tanda malam menjemput. Dian berdiri, menarik nafas dalam tanda kelegaan dan ikhlas menerima keadaan. Kemudian berjalan menuju rumah dengan langkah tegap sambil menguatkan tekad untuk bangkit dari keterpurukan ini.
“Alhamdulillah, kakek dan nenek masih sehat” gumam Dian menyadari masih memiliki orang yang disayang dan juga pengasuh dirinya. Kini Dian akan hidup bersama kakek dan neneknya.
“Assalamu'alaikum” salam Dian sambil membuka pintu rumah
“Wa'alaikumussalam, dari mana Dian? Sudah hampir maghrib kok baru pulang?” tanya nenek yang sedari tadi di ruang tamu bersama kakek
“Duduk di pinggir pantai, nek...” jawab Dian
“Dian, jangan begitu lagi! Kamu boleh saja merasa kehilangan dan sedih, namun jangan terlarut-larut dalam kesedihan atas kepergian ayahmu” nasihat nenek kepada Dian
"Iya, Nek" jawab Dian singkat kemudian memeluk neneknya
"Jangan berlarut-larut dalam kesedihan. Semua ini sudah ditulis oleh ALLAH sebagai takdirmu. Bersabarlah, semoga ALLAH menjadikanmu termasuk orang-ornag yang taat. Dan ingat, masih banyak hal yang harus kau lakukan Dian." nasihat nenek mencoba mengerti perasaan Dian
"Iya, Nek. Aku mengerti..." jawab Dian lirih
"Ya sudah, sekarang kamu mandi! Sebentar lagi adzan maghrib" suruh nenek
Dian menganggukkan kepala, kemudian menuju kamar mandi.
*****
Setelah hari itu, Dian bangkit untuk memanfaatkan waktunya. Untuk belajar, berkarya dan beribadah. Dan hasilnya tampak, bahwa saat kenaikan kelas 3 Dian mendapatkan ranking 3. Meski itu bukanlah hal yang luar biasa, namun sebelumnya Dian hanya 10 besar. Kemudian karyanya juga sudah berwujud, dia telah membuat antologi cerpen yang berisikan motivasi dan renungan dan sudah beredar melalui penerbit di kotanya. Dan ibadahnya juga tidak ketinggalan, dia selalu menjadikan ibadah lebih utama daripada kegiatan yang lainnya.
_______________________________
* Tiga waktu mengangkat tangan saat berdo'a :
1. Do'a minta hujan (baik di dalam atau di luar sholat istisqo)
2. Do'a qunut
3. Do'a permohonan (tidak terikat waktu dan tempat)
0 Komentar
Silahkan meninggalkan komentar.
Kritik & Saran. Terimakasih atas kehadiran dan juga ukiran jejak Anda.