Header Kanan

Buletin Dakwah Islam al-Furqon: Cerdas dengan Tauhid

Bismillah,
Sesungguhnya, kemusyrikan mengindikasikan kebodohan dan keterbelakangan pelakunya. Demikian pula sebaliknya, tauhid mengindikasikan kecerdasan dan kemajuan pelakunya. Setiap orang musyrik pasti terbelakang cara berfikirnya, sedangkan orang bertauhid pasti cerdas dan maju cara berpikirnya. Karena itu, sesungguhnya yang disebut ulu al-albaab adalah orang-orang yang bertauhid.
Cerdas dengan tauhid (buletin islam al-furqon) shared by karyafikri.blogspot.com

Mengapa demikian?
Ketika seseorang mengetahui bahwa pencipta alam semesta, pemberi rizqi, dan pengatur segala urusan hanyalah Allah saja, kemudian ia enggan beribadah kepada-Nya, bukankah ini merupakan kebodohan? Terlebih lagi jika seseorang kemudian menyejajarkan Allah Pencipta alam semesta ini dengan makhluk ciptaan-Nya dalam hal kekuasaan dan dalam hal mendapatkan hak peribadatan.

Bukankah kaum musyrikin Arab Quraisy pada zaman Nabi sholallahu 'alaihi wa sallam dahulu mendapat predikat sebagai orang-orang jahiliyah? Apakah mereka tidak memiliki kemampuan teknologi -misalnya- persenjataan, pertanian, perniagaan, atau komunikasi (tentu yang sesuai dengan ukuran zaman itu)? Jawabnya, bukan! Tetapi karena mereka adalah masyarakat yang memuja berhala, menjadikan makhluk sebagai tuhan, memohon keselamatan kepada benda mati, dan sebagainya.

Padahal mereka mengerti bahkan berikrar bahwa Allah subhanahu wa ta'ala satu-satunya Pencipta alam semesta, Pemberi rizqi bagi sekalian makhluk, Pengatur segala urusan, Yang menghidupkan, mematikan, dan Penguasa bumi-langit beserta segenap isinya. {Syarh Kasyfi asy-Syubuhaat wa yaliihi Syarh al-Ushuul as-Sittah oleh Syaikh Muhammad ibn Shalih al-'Utsaimin}

Allah subhanahu wa ta'ala berfirman menceritakan ikrar mereka akan sisi tauhid ini, yang disebut tauhid Rububiyah, diantaranya:

  وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ ۖ فَأَنَّىٰ يُؤْفَكُونَ

Artinya:
Dan sungguh, jika engkau (Muhammad) bertanya kepada mereka "siapakah yang menciptakan mereka", niscaya mereka menjawab: "Allah". Maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan dari menyembah Allah? (QS. az-Zukhruf 43:87)
وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَ لسَّمَٰوَٰتِ وَلْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ للَّهُ
Artinya:
Dan sesungguhnya jika engkau (Muhammad) tanyakan kepada mereka "Siapakah yang menciptkan langit dan bumi?", tentu mereka akan menjawab, "Allah". (QS. Luqman 31:25)

Demikian beberapa ayat yang menceritkan ikrar mereka akan kekuasaan Allah subhanahu wa ta'ala, bahwa Allah pencipta, pemberi rizki, dan pengatur segala sesuatu. Namun demikian, tetap saja mereka disebut kaum musyrikiin. (Majmu' Fatawa Syaikh al-Islam Ibni Taimiyah 3:101 & 105).

Wajarlah ketika mereka diingatkan supaya meninggalkan berhala-berhala sesembahannya dan supaya mengikuti wahyu Allah serta hanya beribadah kepada-Nya, mereka menolak seraya menjawab "Kami hanya mengikuti tradisi yang dilakukan nenek moyang kami semenjak dahulu." Banyak ayat yang menceritakan sikap dan perilaku mereka ini, diantaranya firman Allah subhanahu wa ta'ala:

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۗ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ
Artinya:
Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?". (QS.. al-Baqarah 2: 170).

Imam Ibnu Katsir rohimahullah menjelaskan tentang firman Allah ini sebagai berikut: Apabila dikatakan kepada orang-orang kafir dari kaum musyrikin itu agar mengikuti ajaran yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya dan agar meninggalkan kebiasaan sesat dan kebiasaan bodoh mereka, maka mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang kami dapatkan dari nenek moyang kami". Yaitu kebiasaan menyembah patung-patung dan berhala-berhala. Karena itu, Allah subhanahu wa ta'ala kemudian mengingkari pernyataan mereka dengan mempertanyakan: "Apakah (mereka akan mengikuti juga) meskipun nenek moyang yang mereka ikuti tidak paham dan tidak mendapatkan petunjuk?" (Tafsir Ibnu Katsir, al-Baqarah (2): 170).

Ayat ini jelas menunjukkan kebiasaan taklid buta kaum musyrikin dan menunjukkan betapa tidak cerdasnya mereka. Oleh karena itu, selanjutnya Allah berfirman (artinya): "Dan perumpamaan (orang yang memanggil) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu, dan buta, oleh sabab itu mereka tidak mengerti" (QS. al-Baqarah 2: 171).

Di sisi lain, bisa diperhatikan pula argumen-argumen yang menunjukkan kelambanan cara berpikir mereka dalam memahami persoalan keyakinan. Yaitu ketika mereka melakukan peribadatan kepada berhala atau orang-orang shalih yang telah meninggal dunia atau malaikat, mereka beranggapan bahwa itu merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta'ala yang kemudian mereka sebut sebagai wasilah. Padahal sejatinya mereka telah memberikan hak doa atau peribadatan kepada selain Allah. Allah berfirman menceritakan anggapan bodoh mereka (artinya): "Ingatlah, hanya punya Allah-lah agama yang bersih dari syirik. Dan orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai pelindung yang dipuja-puja (berkata): 'Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya'". (Qs. az-Zumar 39:3).

Maksudnya, itulah penyebab mereka menyembah patung-patung yang mereka anggap sebagai perwujudan para malaikat; yaitu supaya para malaikat itu memberi syafa'at kepada mereka di sisi Allah dan supaya para malaikat itu menjadi wasilah untuk mendekatkan diri mereka kepada Allah dengan sedekat-dekatnya sehingga mereka selalu ditolong, rizkinnya lancar, dan kebutuhan duniawinya terpenuhi.

Itulah syubhat (karancuan pemahaman) yang selalu menjadi sandaran kaum musyrikin semenjak zaman dahulu hingga sekarang. Para rasul Allah telah datang untuk membantah serta melarang syubhat mereka, dan mengajak mereka untuk hanya beribadah kepada Allah saja. Sesungguhnya tindakan kaum musyrikin (menjadikan berhala sebagai wasilah untuk menyembah Allah) hanyalah rekayasa mereka sendiri, tidak pernah diizinnkan oleh Allah dan tidak pernah diridhai-Nya.
Allah juga berfirman:
وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلا يَنْفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَؤُلاءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللَّهِ
Artinya:
Dan mereka menyembah selain dari Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudaratan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata, "Mereka itu adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah." (QS. Yunus 10:18)

Syaikh Muhammad ibn Shalih al-'Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa kaum musyrikin, dengan membuat wasilah yang batil ini mengharapkan syafa'at dari patung-patungnya (di sisi Allah). Yaitu dengan melakukan peribadatan terhadap patung-patung itu. Ini merupakan kebodohan dan kedunguan mereka. Berusaha mendekatkan diri kepada Allah, tetapi dengan cara yang justru membuat mereka semakin jauh dari-Nya. (Syarh Kasyfi asy-Syubuhaat wa yaliihi Syarh al-Ushul as-Sittah, op.cit (syarah) hlm. 28)

Bukan kelakuan orang yang cerdas
Orang yang cerdas ketika memahami bahwa Allah subhanahu wa ta'ala adalah Pencipta segenap makhluk, Pemberi rizki, dan Pengatur segala sesuatu, maka ia akan dengan penuh tanggungjawab memberikan seluruh peribadatan hanya kepada-Nya saja serta menjalankan seluruh kewajibannya. Sebab,, bagaimana mungkin ia menyembah sesuatu yang tidak menciptakan, tidak memiliki apa-apa, dan serba terbatas?

Orang yang demikian ini, mengindikasikan kecerdasan dan kemajuan berfikirnya. Miskipun -misalnya- ia tidak pernah memakai sepatu, apalagi dasi, karena pekerjaannya selalu berlumuran dengan lumpur sawah atau bergumul dengan sapi/ lembu. Pakaian bersihnya hanya dipakai ketika shalat berjama'ah di masjid, atau ketika berkumpul dengan keluarganya di rumah, atau kemempunyai keperluan di tempat lain. Tetap saja ia disebut sebagai orang cerdas, orang yang paham dan berakal.

Sebagai contoh, kisah seorang mu'min di suatu negeri pada zaman rasul-rasul terdahulu yang diabadikan di dalam al-Quran. Kisah tentang seseorang yang cerdas dengan sikap bertauhidnya dan keimanannya kepada Allah subhanahu wa ta'ala. Ayat yang mengisahkan tentang hal ini antara lain dibawakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahullah sebagai pembanding dari kebodohan orang musyrikin yang menjadikan selain Allah sebagai sembahan. (Majmu' Fataawaa Syaikhi al-Islam Ibni Taimiyah 3:105).

Allah berfirman:
وَمَا لِيَ لَا أَعْبُدُ الَّذِي فَطَرَنِي وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (22) أَأَتَّخِذُ مِنْ دُونِهِ آلِهَةً إِنْ يُرِدْنِ الرَّحْمَنُ بِضُرٍّ لَا تُغْنِ عَنِّي شَفَاعَتُهُمْ شَيْئًا وَلا يُنْقِذُونِ (23) إِنِّي إِذًا لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ (24) إِنِّي آمَنْتُ بِرَبِّكُمْ فَاسْمَعُونِ (25)
Artinya:
Mengapa aku tidak menyembah (Tuhan) yang telah menciptakan diriku dan yang hanya kepada-Nya kamu (semua) akan di­kembalikan? Mengapa aku akan menyembah tuhan-tuhan selain­nya jika (Allah) Yang Maha Pemurah menghendaki kemudaratan terhadapku, niscaya syafaat mereka tidak memberi manfaat sedikit pun bagiku dan mereka tidak (pula) dapat menyelamatkanku? Sesungguhnya aku kalau begitu pasti berada dalam kesesalan yang nyata. Sesungguhnya aku telah beriman kepada Tuhanmu; maka dengarkanlah (pengakuan keimanan)ku. (QS. Yasin 36: 22-25)

Itulah cara berpikir orang yang cerdas. Seorang yang menyadari sepenuhnya bahwa yang berhak disembah hanya Allah Pencipta alam semesta. Sementara itu, penyembahan serta doa kepada apa pun atau siapapun selain Allah adalah kebodohan dan kesesatan.

Begitu pula sikap dan kecerdasan setiap mu'min di segala zaman. Para sahabat Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam dari kalangann atas seperti Abu Bakr ash-Shiddiq rodhiallahu 'anhu hingga budak seperti Bilal rodhiallahu 'anhu membuktikan itu semua.

Kalau orang ingin meninggalkan keterbelakangan dan kebodohan maka harus meninggalkan kemusyrikan, sebab kemusyrikan adalah kebodohan. Sebaliknya, setiap orang yang cerdas pasti akan memilih hidup bertauhid, sebab pilihan hidup bertauhid menunjukkan kepahaman pelakunya, sedangkan kepahaman menunjukan kecerdasan. Wallahu al-Muwaffiq.

Rifaq Asyfiya' hafidhohullah.

Sumber: Buletin Dakwah Islam "al-Furqon" Tahun ke 12 Volume 9 No. 1

Posting Komentar

0 Komentar